Rabu, 20 Januari 2010

Coret-coret tentang Filsafat Keindahan

ESTETIK FILSAFATI

I. Pengantar
Estetik di dunia Barat sama tuanya dengan filsafat. Khususnya dalam filsafat Plato masalah estetik memainkan peranan yang sangat penting. Keindahan yang mutlak menurut Plato hanya terdapat dalam tingkatan ide-ide; dan dunia ide yang mengatasi kenyataan itulah dunia ilahi yang tidak langsung terjangkau oleh manusia, tetapi yang paling banter dapat didekati lewat pemikiran; para filsuflah yang pertama-tama dapat mendekati dunia ide dengan harmoni yang ideal (Teeuw, 347:1984). Dick Hartoko dalam bukunya Manusia dan Seni (1986: 15-17 ) mengemukakan perihal estetika, yang meliputi pengertian dan juga asal kata dari istilah tersebut. Istilah anaestesi itu terdiri atas dua bagian: “an” yang berarti “tidak” dan aesthesis’ berarti yang berarti “perasan, pencerapan, persepsi” jadi tugas ahli anaesthesi itu supaya pasien pada waktu ia dibedah, tidak merasakan sakit, tidak sadar diri. Kata “aesthesis” berasal dari bahasa Yunani dan berarti pencerapan, persepsi, pengalaman, perasaan, pemandangan. Kata ini untuk pertama kali dipakai oleh Alexander Gottlieb Baumgarten (1714-1762).              
Baumgarten masih memasukkan pengalaman tentang keindahan dalam ilmu pengetahuan, namun ia tokoh merasakan perlunya untuk menciptakan sebuah istilah tersendiri guna menunjukkan bahwa pengetahuan ini lain dari yang lain, berbeda dengan pengetahuan akal budi semata-maka. Semenjak Kant, bahwa pengetahuan tentang keindahan atau pengalaman estetik tidak dapat ditempatkan di bawah payung logika atau etika, namun istilah estetika tetap dipertahankan, dan yang dimaksudkan dengan istilah itu ialah cabang filsafat yang berurusan dengan keindahan, entah menurut realisasinya (dalam sebuah karya seni) entah menurut pengalaman subyektif. Maka Alexander Gottlieb Baumgarten mengembangkan filsafat estetika yang didefinisikannya sebagai ilmu pengetahuan tentang keindahan dituangkan melalui karyanya yang berjudul Aesthetica Acromatica (1750-1758).
Seorang filsuf Jerman, menguraikan tentang cabang filsafat yang melingkupi realitas seni dan keindahan. Paparan tentang pemahaman estetika tersebut dikemukakan dalam buku berjudul Meditationes Philosophicae de Nomullis ad Poema Pertinentibus (1735). Karya tersebut diterjemahkan dalam edisi bahasa inggris berjudul Reflections on Poetry (1954). Sedangkan filsafat berasal dari kata Yunani philosophia dan philosophos. Menurut bentuk kata, seorang philo-sophos adalh seorang “pencipta kebijaksanaan” (Bertens, 17:1999).
Pada zaman Yunani Kuno sampai masa-masa kemudian filsafat keindahan menjadi begian dari metafisika (yakni cabang filsafat yang membahas persoalan-persoalan tentang keberadaan dan seluruh realita). Banyak metode dan peristilahan metafisika dipergunakan dalam filsafat keindahan. Filsuf yang mulai banyak membahasnya dalam Sokrates (496-399 sebelum Masehi) dan Plato (427-347 S.M). istilah-istilah yang mereka pakai lebih umum sifatnya. Aristoteles, filsud yang pernah menjadi guru Iskandar Agung, mempergunakan istilah Poetika. Kemudian hari muncul istilah-istilah seperti “ars” (seni) dan “humaniora” yang dinegara-negara yang berbahasa inggris masih dijunjung tinggi sebagai jurusan The Humanities (yang menjadi orang muda lebih manusiawi).
 Para Kawi zaman dahulu memakai kata Kalangwan atau Lango. Menurut professor zoetmulder, tak ada satu bahasa yang demikian kaya akan istilah-istilah untuk mengungkapkan pengalaman estetik itu seperti bahasa Jawa Kuno. Bahkan dalam kalangan para penyair itu keindahan dan pengalaman estetik dianggap sebagai sesuatu yang berasal dari surga, yang pantas di sambut dengan sikap religius dan kebaktian “a real cult of beauty”, bahkan membuat seni, menggubah sebuah syair dianggap sebagai sesuatu tindakan kebaktian.

II. Lingkupan dan Batasan Estetik
           
            Batasan estetik diberikan para filsuf dan sarjana beragam banyaknya, tapi pada umumnya estetik adalah cabang filsafat dan filsafat termasuk membicarakan keindahan. Terkadang ditegaskan bahwa keindahan itu adalah keindahan yang terdapat dalam alam dan seni. Keindahan dalam seni mempunyai hubungan erat dengan kemampuan manusia menilai karya seni yang bersangkutan untuk menghargai keindahannya. Kemampuan ini dalam filsafat terkenal dengan istilah cita rasa (taste). Cita rasa menurut perumusan Kant diartikan sebagai kemampuan mental untuk menilai suatu benda atau suatu macam gagasan dalam hubungannya dalam kepuasan atau ketidak puasan  tanpa adanya suatu kepentingan apapun.

Benda yang mengakibatkan kepuasan tersebut disebut indah. Tapi dari sudut lain orang juga bias berpendapat bahwa hubungan antara keindahan dengan istilah seni bukanlah suatu kemestian. Setiap karya seni tidak selalu mesti indah, misalnya seni pada suku-suku primitif dan sebaliknya keindahan tidak senantiasa hanya terdapat pada seni, umpamanya keindahan alam. Dengan demikian sasaran estetik bukanlah seni atau keindahan semata-mata dan  juga bukan keindahan dan seni, melainkan keindahan sebagai nilai positif serta lawannya berupa kejelekan sebagai nilai negatif ( Gie, 19 : 1976).  
Wadjiz Anwar L.Ph. juga menguraikan secara singkat tentang estetika dalam bukunya yang berjudul: Filsafat Estetika (1985: 9-10) sebagai berikut.
Estetika dalam arti teknis ialah ilmu keindahan, ilmu mengenal kecantikan secara umum. Kitra memandang alam disekeliling kita dan kita menjumpai keindahan dan kecantikan terdapat dimana-mana. Keindahan pemandangan pohon bamboo yang menjulan di atas desa-desa negeri kita. Keindahan laut yang membentang ditepi pantai. Suarapun mempunyai keindahan. Gerak langit dan gerak penaripun ada keindahan nya. Di samping keindahan yang terdapat di dalam alam itu kita sebagai manusia juga membuat beberapa keindahan yang kita tuangkan di dalam karya-karya seni. Kita merasakan keindahan-keindahan itu dan menikmatinya. Akan tetapi dengan demikian itu kita belum menjadi ahli-ahli estetika. Estetika bukanlah cara untuk menikmati keindahan, akan tetapi usaha-usaha untuk memahaminya.
Estetika berasal dari kata bahasa Yunani aesteis, berarti perasaan atau sensitivitas. Ini karena keindahan itu memang erat sekali hubungannya dengan lidah dan selera perasaan, atau apa yang disebut dalam bahasa jerman “Geschmack” atau dalam bahasa Inggris “teste”. Akan tetapi pada masa sekarang kita itu diartikan segala pemikiran filosofis tentang seni. Estetika timbul tatkala pemikiran filsud terbuka untuk menyedidiki dan hatinya terbuka untuk mengecap rasa terharu, demikian kata Paul Valery. Estetika bersama dengan ethika dan logika membentuk tritunggal ilmu-ilmu nonmatif di dalam filsafat. Maka barangkali akan lebih tepat bila kita kutif kata-kata Hegel: filsafat seni membentuk bagian yang penting sekali di dalam struktur filsafat”.
Soedarso Sp. (1987: 31-34) Dalam bukunya “Tinjauan seni” menguraikan tentang topik “Seni dan Keindan”, sebagai berikut.
Dalam hal memperesoalkan tentang perihal keindahan, ada dua kategori yang saling bertentangan. Yang satu adalah pandangan subyektif yang memandang keindahan terletak pada diri orang yang melihat (“beauty is in the eye of the beholder”). Sedang yang satu lagi obyektif sifatnya, menempatkan keindahan pada barang yang kita lihat. Suatu waktu sokraters mengatakan bahwa keindahan adalah segala sesuatu yang menyenangkan dan memenuhi keinginan terakhir. Jelaslah bahwa pendapat seperti ini tergolong dalam kategori pertama yang subyektif. Yang indah adalah yang mendatangkan rasa senang, dan kalau kita pinjam rumusan Kant (1724-18-4) yang hidup jauh lebih kemudian dari Sokrates, yang indah adalah yang menyenangkan tanpa pamrih dan tanpa adanya konsep-konsep tertentu. Maksudnya, kita begitu saja merasa senang tanpa alasan lain kecuali melihat atau mendengar sesuatu. Jelasnya kita merasa senang ketika memandang seorang gadis cantik, bukan karena gadis itu adalah tetangga kita yang baik, dan bukan pula karena kita telah cocok dia dengan resep-resep tertentu, misalanya karena kita telah melihat bahwa pipinya seperti pauh dilayang, dagunya seperti lebah bergantung, dan seterusnya. Begitu kita lihat, kita merasa senang.
Teori subyektif tersebut susah kita pakai untuk menentukan kenapa kita senang akan sekuntum bunga mawar yang sedang mekar, sedang bagi teori yang obyektif yang menempatkan keindahan pada obyeknya, mesti nyua adalah sifat-sifat tertentu pada bunga itu yang menjadikan kita senang. Santo Augustinus (354-430) mendefinisiakn keindahan sebagai kesatuan bentuk (omnis pulcritudinis forma unitas est) dan Thomas Aquinas (1225-1274) yang rupanya banyak mengilhami Ki Hadjar dewantara , menyaratkan tiga, hal untuk bisa disebut indah, ialah (1) andanya integritas atau perfeksi; (2) proposi yang tepat atau harmonis; dan (3) adanya klaritas atau kejelasan. Dan di jaman modern , Harbert read menulanginya dengan ungkapan bahwa keindahan adalah kesatuan hubungan bentuk-bentuk.
Jadi menurut teori obyektif, kesenangan kita terhadap bunga yang mekar itu adalah karena padanya terdapat kesatuan hubungan bentuk-bentuk , misalnya lenkungan-lengkungan pada pinggir helaian-helaian mahkota bunga tersebut yang jalin-menjalin membentuk sebuah susuan yang baik. Bayangkan, kita akan kecewa sekiranya salah satu helaiannya patah, yang berarti mementuk unsur yang tidak serasi lagi dengan deretan unsur-unsur lainnya.
Kalau saja kita dapat menerima pandangan Harbert Read yang obyektif ini, barangkali kita akan dapat juga menangkap. Kenapa yang jorok-jorok di atas boleh pula dibilang indah. Dasar pertama adalah bahwa keindahan itu terletak pada obyeknya (tidak pada diri yang melihat). Karena pada obyek tersebut terdapat suatu kualitas tertentu. Dan bagi Kant yang menandang manusia ini memiliki kemampuan untuk membuat keputusan tanpa reasoning dan menimbulkan kesenangan tanpa pamarih (urteil ohne Begriff und Vergnugen aahne Begehen). Maka kualitas tertentu tersebut tidak harus dihubungkan dengan apa-apa . Maka yang jorok tidak akan terasa jorok, karena yang menjadikan jorok tersebut adalah asosiasi kita dengan keadaan yang sebenarnya, karena kita menghubungkan bentuk-bentuk dalam gambaran itu dengan bentuk yang pernah kita lihat di alam. Begitupun gambara ellips misalnya, bisa menjadi gambar telur hanya karena kita telah penah melihatnya, dan bisa juga ia menjadi batu atau apa saja yang lain lagi.
Baumgarten (1714-1762) seorang filsuf Jarman, membedakan adanya tiga kesempurnaan di dunia ini, yaitu (1) Kebenaran, ialah kesempurnaan yang bisa kita tangkap dengan rasio; (2) Kebaikan, kesempurnaan yang kita tangkap dengan moral kita; dan (3) keindahan, adalah kesempurnaan yang kita tangkap dengan indra kita (perfectio coqnitionis sensitivae, qua talis). Ini menambah lagi alasan, kanapa yang jorok visa indah, karena fasilitas penangkapannya berlainan, indahnya lukisan harus ditangkap dengan mata, tidak dengan moral, menurut bahasa Monet, sang pelopor impresionisme itu “lukisan memasanlahkan bentuk tidak memasalahkan isi”
Namun di fihal lain akan terdengar pertanyaan, bisakan kita memisahkan segenap fasilitas yang ada pada diri kita ini satu-satu?. Manusia secara keseluruhan punya kemampuan melihat, merasakan, mengingat, menghubungkan, dan sebagainya. Pada suatu saat apakah kemampuan-kemampuan itu bicara sendiri-sendiri atau bersama-sama?.
Yayah Khisbiyah (2002: 1), Ketua Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial Universitas Muhamadiyah Surakarta pada salah satu artikel yang berjudul Seni dan Psikologi, mengemukakan tentang hal ikwal keindahan sebagai berikut.
Keindahan (beauty) adalah pengalaman yang memberik manusia rasa kegembiraan dan rasa kedamaian sekaligus. Keindahan bersifat menenangkan dan pada saat yang sama ia juga dinamis, menstimulasi kegairahan dan meningkatkan rasa hidup manusia. Kindhanan adalah mistri yang mempesona manusia karena ia merupakan pengalaman yang bersifat timelessness dan bederajat lebih tinggi dari kemanusiaan itu sendiri.
Berkaitan dengan hal tersebut Dick Hartoko juga memaparkan tentang perihal seni yang tidak indah dalam bukunya berjudul Manusia dan Seni sebagai berikut.Sifat umum yang dewasa ini sering nampak dalam kesenian dunia Barat tak lain dan tak bukan ialah usaha untuk menimbulkan efek “shock”, memperhatikan rasa frustrasi dan kejenuhan yang dirasakan oleh sang seniman dan….sebagian masyarakat. Baik dalam seni sastra, seni drama maupun seni pahat dan seni film, dimana – mana kita jumpai gejala-gejala serupa itu, “shock” menggungcangkan yang dulu dianggap padan stabil, meleparkan batu ke kaca-kaca yang melindungi harta nilai-nilai tradisional, dengan sengaja menertawakan dan mencemoohkan apa yang oleh angkatan-angkatan dulu dianggap suci dan keramat, memberontak terhadp tat tertib yang dulu tak pernah diragu-ragukan serta membubuhkan tanda Tanya di belakang setiap pernyataan dan ucapan.
Gejala pustasi nampak dari suasana keabu-abuan yang meliputi banyak karya seni kontemporer; rupanya tak ada gairah, ditonjolkan tanpa emosi, secara factual saja. Sebelum Perang Dunia II dosa masih diperlihatkan sebagai sesuatu yang memang dilarang, tetapi toh ada segi-segi yang indah, yang membebaskan, sebgai ekspresi gaya hidup vital. Tetapi sekarang sering digambarkan sebagai sesuatu yang menjemukan, ditonjolkan dalam kejelekan, dengan sengaja dijauhkan dari segala sesuatu yang indah, kata-kata yang biasanya hanya kita lihat di dinding-dinding dibelakang stasiun atau di pasar, kini diulang-ulangi dalam apa yang disebut sastra, diteriakkan di muka radio dan televise. Bandingkan misalnya film televise Madame Bovary (berdasarkan karangan Flaubert pada pertengahan abad yang lalu) dan “ Lost tango in Paris”. Dalam “Madame Bovary” tema asmara dilukisakan sebagai suatu yang romantis dan merayu, biarpun haram, dalam “Lost tango in Paris” sebagai sesuatu yang percuma tanpa makna, tanpa tujuan.
Hanya di dunia Baratlah gejala-gejala serupa itu kelihatan? Kita telah perlu mencari jauh-jauh. Ambillah sebagai contoh “Nyanyian angsa’ dan “khotbah” karangan Rendra. Kita digemparkan dalam pendapat dan perasaan tradisional, apabila dalam perasaan keagamaan. Efek shock memang dimaksdukan dan efek shock kita alami. Ingat akan sajak – sajak Sutardji Calsum Bachri. Aneh bukan ? Siapa yang dapat mengerti? Prof. teeuw pernah menulis “… dalam sastra modern kebebasan dan kebutuhan para seniman untuk merombak sistem sastra jauh lebih besar dan lebih radikal (yakin sampai akarnya) daripada di zaman lampau… pengarang sekarang secara insaf dan sadar merombak sistem, membebaskan diri dari ikatan konvensi, dari ikatan sistem bahasa dan sastra “.
Khusus untuk memahami sastra modern yang sering ‘aneh’ itu Jurij Lotman mengajukan teorinya mengenai dua jenis Estetika; untuk mendekati sastra tradisional hendaknya kita pakai estetika keselarasan, sedangkan untuk memahami sastra (dan seni) modern perlu kita perhatikan estetika Pertentangan.
Seni tidak identik dengan keindahan. Dalam menghadapi sebuah karya seni tidak hanya kategori keindahan yang bergetar dalam hati seorang penonton, melainkan kategori-katoegori lainnya juga. Perasan estetik hanya merupakan sebagai saja dari perasaan seni. Sebuah patung klasik Yunani menimbulkan rasa lain daripada sebuah patung dari suku asmat. Dalam filsafat seni klasik di Barat sejak zaman Yunani sudah disebut adanya unsur mulia dan elok, unsur tragis dan komis, unsur indah dan jelek.
Dalam menjelajahi gejala-gejala seni modern mungkin masih ada satu faktor lain yang menyebabkan seorang pengamat tradisional tidak selalu dapat menangkap maksud sang seniman, sehingga terjadi semacam “kortsluiting”. Generasi muda sering menglami frustrasi dan kelesuan, mengalami ketidak mampuan untuk berkomunikasi dengan dunia sekitarannya, apabila dengan angkatan yang lebih tua. Menurut fisafat personalistik yang antara lain diwakili oleh Gabriel Marcel, kemampuan untuk dapat berkomunikasi dengan orang lain, sehingga tercapai suatu perjumpaan sungguh-sungguh antara aku dengan engkau, merupakan puncak kebahagiaan bagi seorang manusia. Dan sebaliknya, ketidakmampuan untuk melakukan komunikasi itu dapat menjadikan hidup kita bagaikan neraka (sartre) . Manusia ingin berkomunikasi, tetapi itu tidak mungkin, segala usaha kea rah itu terbentur pada tembok-tembok, setiap orang tertutup dalam dirinya. Itulah sebabnya mengapa manusia melakukan gebrakan-gebrakan , ingin menggempar tembok-tembok yang memisahkan kita dari kita. Tanpa gebrakan itu tidak mungkin, tanpa gebrakan orang lian tidak memperhatikannya. Mungkin latar belakang ini juga mempengaruhi seni modern.
III. Aliran Estetik filsafati
            Perkembangan filsafat dewasa ini timbul bermacam aliran, antara lain filsafat analistis (analiytic philosophy). Filsafat ini mencoba memecahkan persoalan-persoalan filsafati dengan mengurai dan menganalisa pengertian-pengertian yang digunakan orang. Persoalan yang sejak dulu menjadi perbincangan yang tak pernah lekang oleh waktu tersebut memberikan berbagai jawaban yang berbeda dari para filsuf , perbedaan tersebut terlihat dari berlainannya sasaran yang dikemukakan. Sasaran-sasaran tersebut meliputi :
1.      Keindahan
2.      Keindahan dalam alam dan seni
3.      Keindahan khusus pada seni
4.      Seni (segi penciptaan dan kritik seni serta hubungan dan peranan seni)
5.      Cita rasa
6.      Ukuran nilai baku
7.      Keindahan dan kejelekan
8.      Nilai non Moral
9.      Benda estetis
10.  Pengalaman Estetis

Dari keindahan yang bersifat metafisis orang sampai kepada pengalaman estetis yang lebih bercorak psikologis dengan melalui konsepsi-konsepsi tentang seni, cita rasa dan nilai, namun semua pendapat estetik tersebut tidak mengingkarinya sebagai cabang filsafat . Perkembangan saat ini yang mempelajari estetik secara ilmiah menjadikan hal yang dikemukakan diatan tersebut merupakan estetik filsafati atau disebut juga dengan estetik tradisionil. Selanjutnya estetik filsafati ada juga yang menyebutnya estetik analistis karna lebih banyak mengurai untuk dibedakan dengan estetik ilmiah. Perkembangan zaman saat ini estetik ilmiah tersebut disebut sebagai estetik modern sedangkan untuk estetik filsafati disebut estetik tradisionil.






Daftar Bacaan

Bertens, K. 1999. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta: Kanisius.
Hubungan Sastra dengan Fisafat, (http://mahayana-mahadewa.com/?/reg/writing.htm), (date last access 12  Oktober 2009).
Gie, The Liang. t.t. Garis Besar Estetik. Makalah. Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada.
Makalah Estetik, (http://kedaikebun.com/?/reg/writing.htm), (date last access: 12 Oktober 2009).
Teeuw. A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.





1 Komentar:

Pada 20 Januari 2010 pukul 22.25 , Blogger imam_gozali_sastra mengatakan...

coretan ini belum maksimal,,, butuh kritik dan saran dari smuanya,, semoga dapat menjadi sebuah pelajaran yang berharga...!!!

 

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda