Sabtu, 30 Januari 2010

Coretan tentang Pengaruh Islam di Minangkabau



PENGARUH GERAKAN ISLAM DI MINANGKABAU DAN PERGERAKAN NASIONAL
Oleh :
Imam Gozali

I.  PENDAHULUAN

Setelah Islam masuk beberapa abad lalu, agama yang dipegang teguh masyarakat Minangkabau adalah Islam di samping memegang teguh adat. Dengan begitu Islam dan adat menyatu dalam kehidupan sehari-hari. Maka lahirlah adagium Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK). Perpaduan keduanya melahirkan harmoni sosial di bawah sistem kepemimpinan tigo tunggu sajarangan: Ninik–Mamak, Alim-Ulama dan Cerdik-Pandai serta tigo tali sapilin.
             Di dalam menjalankan tatanan kehidupan sosial budaya, politik, pemerintahan, ekonomi dan keagamaan, masyarakat Minangkabau senantiasa mendasarkan keputusan dan membuat kebijakan melalui musyawarah dan mufakat. Bulek aie ka pambuluah, bulek kato dek mufakaik. Kok bulek dapek digiliangkan kok picak dapek dilayangkan. Intinya adalah setiap gerak kehidupan bersama mestilah dimusyawarahkan agar terciptanya keputusan bersama, untuk kepentingan bersama. Selain itu masyarakat Minangkabau memiliki falsafah hidup Alam Takambang Jadi Guru yang telah digunakan sebagai pedoman hidupnya sejak dahulu.


II. PERGERAKAN PADERI

Lahirnya gerrakan Paderi pada awalnya dimotori oleh beberapa ulama pengikut Tuanku Tuo dari Nagari Cangking yang menganut aliran tareqat Wujudiyah yaitu, Tuanku Mansiangan, Tuanku Lintau, dan Tuanku Nan Renceh. Mereka ingin sekali  yang sudah larut dalam kehidupan duniawi yang rusak. Namun mereka belum menemukan cara pembersihan yang tepat selain dengan pemberian dakwah yang telah mereka lakukan. Pada tahun 1803, ketika tiga Haji pulang dari Mekah yaitu Haji Sumanik, Haji Miskin dan Haji Piobang. Mereka memperoleh gagasan yang tepat untuk melakukan tindakan yang tepat karena terinspirasi oleh kaum Wahabi yang meruntuhkan kekuasaan Khalifah Usmaniyah dari Turki di Mekah. Pemikiran itu mendapat sambutan hangat dari para para Ulama seperti Tuanku Mansiangan, Tuanku Nan Renceh, dan Tuanku Pasaman yang kemudian dikenal sebagai Tuanku Lintau. Kampanye Haji Miskin mendapatkan perlawanan dari para pengikut ulama yang merasa ajaran dan kedudukannya sudah mulai terdesak. Ulama yang menentang tesebut mendapatkan dukungan dari para kaum penghulu, karna ajaran Haji Miskin dianggap akan merubah sendi ajaran Adat Minangkabau. Peristiwa tersebut yang menjadikan cikal-bakalnya gerakan Paderi, sehingga tidak sampai setahun gerakan padri telah menguasai seluruh Agam bahkan sampai ke Pasaman. Namun salah satu pengikut Tuanku Nan Renceh, Datuk Bandaro mendapat perlawanan keras di Nagari Alahan Panjang sehingga menyingkir ke wilayah Bonjol Yang dipimpin leh Peto Syarif yang dikenal sebagai Tuanku Imam Bonjol.
            Perang Paderi merupakan merupakan perang  kaum adat dan kaum agama yang berlangsung pada awal abad 19 di Minangkabau. Perang ini pada akhirnya menyatukan rakyat Minangkabau. Sehingga pada saat itu rakyat Minangkabau dari semua golongan bersatu untuk melawan panjajahan Belanda. Tokoh sentral pada perang tersebut adalah, Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Rao, dan Tuanku Tambusai. Setelah pemerintahan Hindia Belanda telah menguasai Minangkabau seabad lamanya, Gerakan Paderi selalu bermuara kearah gerakan politik. Dekadensi ajaran tarekat Satariyah dan kegagalan paderi menimbulkan gerakan baru pada tahun 1850, yaitu ketika Syekh Ismail yang dijuluki Tuanku Simabur kembali dari mekah dan membawa ajran tareqat Naksabandiyah. Golongan Naksabandiyah menamakan dirinya kaum muda, sedangkan ulama Satariyah disebut ulama adat atau kaum tua. Pertentangan kedua aliran tersebut cukup tajam, golongan Naksabandiyah berhasil mendesak golongan Satariyah.
            Dominasi golongan Naksabandiyah dipandang telah kemasukan Bid'ah oleh Syekh Ahmad Khatib yang bermukim di Mekah sejak tahun 1871. Syekh Ahmad Khatib mempunyai tiga orang murid yaitu, Haji Abdulah Ahmad, Haji Jamil Jambek, dan Haji Karim Amrullah. Ketiga Haji tersebut setelah pulang dari Mekah ke Minangkabau mulai melakukan gerakan pembaharuan dari kebiasaan yang berbau sirik dan Bid'ah. Mereka mengembangkan pendidikan yang sebelumnya bersifat Halaqoh di surau dan Madrasah menjadi Thawalib dan Diniayah atu dikenal dengan Thawalib school dan Diniyah school yang didirikan sekiar tahun 1918. Perkembangan sekolah seperti semakin pesat di Minangkabau, sehingga Haji Abdulah Ahmad yang tergabung dalam tareqat Naksabandiyah mendirikan sekolah Adabiyah di Padang yang memberikan pengajaran dengan kurikulum sekolah HIS berbahasa Belanda untuk Pribumi. Selain dari ketiga Haji tersebut, Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawy juga mempunyai murid di jawa yaitu KH. Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah dan KH. Hasyim Ashari pendiri Nahdatul Ulama pada tahun 1912.


III. PENGARUH PERGERAKAN ISLAM NASIONAL

Pergerakan  Islam oleh tersebut telah menimbulkan pengaruh yang besar bagi pembaharuan pendidikan di Minangkabau maupun Indonesia. Minangkabau, sebagai bagian tak terpisahkan dengan Tanah Air Indonesia, mengalami pasang naik dan surut kehidupan berbangsa dan bernegara sejak zaman klasik, penjajahan Belanda, era pergerakan nasional, penjajahan Jepang,  kemerdekaan awal, masa Orde Lama, masa Orde baru dan sekarang Orde Reformasi . Yang paling khas di dalam kehidupan pemerintahan, kenegaraan dan kebangsaan itu bagi Minangkabau adalah peristiwa PRRI (1957-1960). Peristiwa ini oleh sebagian besar kalangan masyarakat Minangkabau baik yang di kampung maupun di rantau membekas sebagai trauma. Trauma itu membuat masyarakat Minangkabau tertekan secara psikologis. Keadaan itu berjalan di sisa masa akhir Orde Lama. Pada masa ini kepemimpinan dan kebijakan publik dinomisasi oleh kaum komunis dan nasionalis serta kaum agama tradisionalis yang disebut Nasakom yang pada intinya semuanya terpusat kepada Soekarno.
              Pasca rezim Soekarno, setelah pembunuhan Jenderal tahun 1965, lahirlah Orde Baru atau pemerintahan Soharto. Pada masa awal era ini masyarakat Minangkabau mulai merehabilitir diri. Pada waktu ini Sumatara Barat dipimpin seorang Gubernur Sipil Harun Zain yang memerintah dengan motto : Mambangkik Batang Tarandam. Pada dasarnya era ini situasi Minangkabau yang porak-poranda dilanda perang saudara dengan pemerintah pusat sebelumnya, hendak diperbaiki. Minangkabau mengeman harga diri dan martabat Era klasik dan masa pergerakan nasional yang telah diisi oleh perjuangan tokoh-tokoh Islam dan nasionalis Minangkabau ingin dijadikan motivasi ulang untuk kejayaan. Tuanku Imam Bonjol, , Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, Dr. Syekh Abdul Karim Amarullah (Inyiek Rasul) , Dr. Syekh Abdullah Ahmad, Syekh Moh. Jamil Jambek atau Inyiak Jambek,  Agus Salim, HAMKA, dan deratan tokoh besar bangsa yang sebelumnya telah mengharumkan nama Minangkabau di pelataran nasional, kembali ditoleh sebagai motivasi kemajuan.


IV. PERGERAKAN ISLAM NASIONAL

Di akhir 60-an dan awal 70-an ada dua alumnus Univeristas Al-Azhar, Kairo dan Timur Tengah yang amat sentral peranannya di dalam kehidupan keagamaan dan sosial pendidikan di Minangkabau. Meraka adalah Prof. Dr. H. Mahmud Yunus, H. Baharuddin Syarif, MA. Dan mantan Dubes RI di Irak. HMD Dt. Palimo Kayo.
Dua yang pertama berjasa mengembangkan pendidikan tinggi Islam IAIN Imam Bonjol yang kedua berjasa membangun harga diri keagaamaan Minangkabau sebagai Ketua MUI pertama di Sumatera Barat dan benteng umat Islam dalam menghadapi propaganda Kristen di Minangkabau.Palimo Kayo bersama Moh. Natsir dari DDII Pusat amat berjasa di dalam mengembangkan dakwah Islam terutama menghadapi misi Kristen itu di Sumbar dengan mendirikan Rumah Sakit Islam Ibnu Sina dan Sekolah Tinggi Akademi Agama dan Bahasa Arab (AKABAH) di Bukittinggi pada 1970-an awal. Ibnu Sina kini ada pada beberapa kota dan daerah di Sumbar sedangkan AKABAH akhir-akhir ini tidak ada yang mengurus.
               Dewasa ini alumni Timur Tengah yang berasal dari beberapa universitas di Mesir, Marokko, Saudi Arabia, Libya dan Syiria ada sekita 30-an orang. Yang paling dominan adalah dari Kairo baik Universitas Azhar maupun yang lain. Secara fungsional banyak yang mengabdi di bidang pendidikan dan dakwah. Rektor IAIN Imam Bonjol Prof. Dr. Maidir Harun dan Ketua MUI Sumbar Prof. Dr. Nasrun Harun agaknya di antara mereka yang berada pada posisi puncak institusi formal dan sosial dewasa ini. Selain mereka banyak yang mengajar di beberapa perguruan tinggi, pesantren, madrasah dan aktivis muballig di Sumbar. Sebagian di antara mereka ada yang menjadi pegawai negeri dan sebagian lain tetap swasta. Beberapa di antara mereka ada yang menamatkan sampai S3 di Timur Tengah, tetapi kebanyakan hanya sampai S1 (Lc) dan S2 (MA). Mereka yang tersebut terakhir ini banyak pula yang meneruskan kuliah strata berikutnya di Indonesia sampai jenjang paling tinggi. Secara individual mereka sangat berperanan di dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, pendidikan,dakwah dan keumaan secara umum.
        
V. ORGANISASI PERGERAKAN NASIONAL

      Bersama masuknya pengaruh kemajuan pada awal abad ke-20 ke Indonesia, Minangkabau telah menjadi pintu gerbang utama . Menurut Korver (1985) dan Noer (1980) paling tidak ada 3 jalur utama masuknya pembaharuan pemikiran Islam ke Indonesia dari Timur Tengah. Ketiganya adalah melalui masyarakat Indonesia keturunan Arab; tokoh-tokoh modernis Islam Minangkabau; dan organisasi Islam modern dan tradisional seperti Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama dan Tarbiyah Islamiyah.
               Khusus untuk Minangkabau organisasi Islam yang dominan di tengah masyarakat di perkotaan dan pedesaan adalah Muhammadiyah, Tarbiyah Islamiyah dan Jama’ah Tariqat, baik Syatariyah maupun Naqsyabandiyah. Dua yang pertama di samping merupakan jam’iah, persyarikatan sosial kemasyarakatan juga mempunyai amalusaha diberbagai bidang.Muhamamdiyah mempunyai 291 instalasi pendidikan dari Taman Kanak-kanak, SD, Ibtidaiyah, Pesantren, SMA, SMP, Tsanawiyah , Aliyah dan Universitas Muhammadiyah Sumbar dengan 6 Fakultas dengan program D3, S1 dan Pascasarjana serta Akademi perawat. Pusat pendidikan Islam Muhammadiyah yang akhir tahun 70-an disebut Pesantren terbesar adalah di Kauman Padang Panjang, Al-Kautsar 50 Kota, Muallimin di Sawah Dangka Agam dan Mualimin di Lintau, Batu sangkar serta di Ujung Gading Pasaman Barat.
               Sementara Tarbiyah Islamiyah, mempunyai puluhan madrasah dengan yang terkemuka antara lain di Ampek Angkek Canduang serta Batu Hampar Payukumbuh. Selanjutnya, madrasah-madarasah independen. Artinya tidak terkait langsung secara struktural dengan organisasi keagamaan seperti Muhmmadiyah dan Tarbiyah.
Antara lain seperti yang telah kita ketahui adalah Diniyah Putri dan Thawalib, Nurul Ikhlas, Serambi Mekkah di Padang Panjang. Sumatra Thawalib di Parabek dan Pesanten modern Terpadu Prof. Dr. HAMKA di Duku Pariaman.
Pesantren indpenden lain yang ada di berbagai nagari, diperkirakan ada sekitar 500 buah. .
                 Akan halnya Tariqat Syatariyah dan Nasqsyabandiyah, merupakan kumpulan jam’ah yang ada pada beberapa nagari di Pariaman, Pasaman, Agam, 50 Kota, Pesisir Selatan, Sawahlunto Sijunjung dan sebagian Tanah Datar. Koto Tuo, sebuah nagari di Agam di pinggiran jalan arah ke Maninjau dari Bukittinggi ada surau utamanya yang merupakan basis Syataruyah untuk Sumbar, Riau dan Jambi.
Nagari Ulakan di Pariaman merupakan tempat ziarah utama kaum Syatariyah sebagai tempat makam Syekh Burhanuddin yang dianggap pembawa awal tariqat ini ke umbar dari Aceh pada awal abad ke-17. Jama’ah tariqat ini tidak menggarap lembaga pendidikan formal seperti Muhammadiyah dan Tarbiyah, tetapi memfokuskan diri kepada pembinaan jama’ah dan kelompok zikir, pengajian dan wirid-wirid serta bimbingankerohanian.


IV. PENUTUP

Pengaruh pergerakan Islam di Nasional di Indonesia sejak awal abad 19 sampai dengan era Reformasi, telah memberikan kontribusi yang besar bagi kemajuan perkembangan sistem pendidikan di indonesia. 
Dinamika ummat Islam di Minangkabau senantiasa terus menerus berjalan secara fluktuatif. Peranan tokoh masyarakat, ulama, pemerintah dan ormas Islam senantiasa harus diintegrasikan di dalam menghadapi persoalan sosial keagaman, pendidikan, peningkatan kualitas SDM , ekonomi dan sosial budaya di Minangkabau. Angkatan muda Minangkabau menjadi ujung tombak yang harus terus menerus diasah di dalam menghadapi tantangan untuk kebangkitan ummat. Mereka yang ada di kampung dan di rantau, lebih-lebih yang sedang menuntut ilmu di berbagai belahan dunia diharapkan mengisi kemampuan kecerdasan intelektual, sosial, emosional dan spiritualnya untuk kembali ke Tanah Air di dalam membangun ummat dan bangsa ke arah yang lebih baik di masa kini dan akan datang.



DAFTAR KEPUSTAKAAN

  1. Navis, A.A. Alam Terkembang Jadi Guru. Jakarta : Grafitipers 1987
  2. Hamka. Ayahku. Jakarta : Uminda 1982
  3. Rusli Amran Sumatra barat Hingga Plakat Panjang., Jakarta : Sinar Harapan 1981
  4. Sofwan Karim. http:// sofwan karim.pluralitassosio-kultural.blogspot.com/2008/03/islam-di-minangkabau.html

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda